Kamis, 08 November 2012

Cerpen 2



Kisah ini diangkat berdasarkan kisah nyata. Kisah tentang sebuah cinta yang tanpa syarat dari seorang istri yang begitu setia kepada suaminya.

         
  Malam itu tepat jam 11 malam. Suasananya nampak begitu sunyi. Tidak ada lagi nyala lampu disetiap bagian dalam rumah penduduk. Jalannya pun sunyi. Tak ada lagi suara-suara bunyi kendaraan yang lewat. Namun ditengah kedunyian itu, ada satu rumah yang masih menyalakan lampu dalam dirumahnya. Terdengar dibalik tirai-tirai tipis, suara sendu dari seorang wanita. Wanita itu terdengar sedang bernyanyi. Namun nyanyiannya tidak seperti lagu pada umumnya. Lagu itu terdengar seperti syair indah dari sebuah lantunan doa.
            Dibalik tirai itu, ada seorang wanita tua yang sedang duduk diatas sejadahnya. Tangannya sedang memapah Al-Qur’an kecil yang ia baca sejak tadi. Al-Qur’an itu nampak  basah. Wajahnya Nampak sayu, tubuhnya kurus dan ringkih. Wanita itu ternyata sedang menagis. Tak terbendung lagi air matanya yang telah lama ditahannya. Tersirat rasa pedih dan sakit yang amat dalam dari suaranya saat mengaji. Wanita itu bernama Ibu Neni.
            Ibu Neni adalah seorang wanita yang telah lama ditinggal sendiri bersama suaminya. Wanita tua itu hidup bersama 4 orang anak disebuah rumah kecil yang sederhana. Wanita itu sehari-hari berjualan nasi dipasar untuk menghidupi anaknya yang saat itu masih kecil dulu. Tapi kini, ibu Neni telah hidup enak. Anaknya yang pertama telah bekerja sebagai anggota polisi. Anaknya yang kedua telah bekerja sebagai pemilik jasa mobil angkot dipasar. Anaknya yang ketiga, kini telah lulus kuliah. Dan anaknya yang bungsu, masih sekolah di SMA.
Suasana sunyi malam itu,tiba-tiba terpecah. Sekumpulan orang-orang datang dan mengetuk pintu rumahnya berkali-kali dengan keras. Wanita itu sejenak berdiri dari sejadahnya untuk membukakan pintu.
            Dilihatnya, sekumpulan orang itu datang dengan wajah panik. Melihat wajah orang-orang tersebut, wanita itu dengan segera membukakan pintu pagar rumahnya. Dan, alangkah terkejutya wanita itu saat melihat sekumpulan orang tersebut datang membawa seseorang dalam keadaan pingsan. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah suaminya sendiri.
            Melihat suaminya tergeletak tak berdaya yang dalam keadaan dibopong banyak orang, wanita tersebut hanya bisa terdiam. Dibukakannya pintu kamarnya untuk merebahkan tubuh suaminya yang sangat dingin. Dibangunkannya anak-anaknya untuk membantu orang memapah tubuh ayah mereka. Namun sayang, anak anaknya nampak enggan untuk membantu ayah mereka. Ada apa dengan semua ini? Semua orang pun tampak ingin segera cepat pulang karena takut melihat suami wanita itu yang sedang dalam keadaan kejang-kejang.
            Tubuh tambun dan tegap lelaki tua yang biasa dipanggil ‘Pak Heri’ itu tampak kejang dan kaku. Mulutnya tak henti mengeluarkan kata-kata aneh. Semua orang yang membopongnya terlihat ketakutan, dan tiba-tiba lelaki tua itu terjatuh tersungkur ketanah. Sontak saja semua orang ketakutan dan memilih untuk pergi. Melihat suaminnya yang tergeletak ditanah, segera sang istri datang dan memapah sendiri suaminya yang lemah tersebut. Meski anak-anaknya tidak memperdulikan lagi ayah mereka, namun sang ibu sekaligus istri yang sangat menyayangi suaminya tersebut tak menghiraukan prilaku anaknya. Dia tetap memapah tubuh suamunya yang badannya dua kali dari badannya.
            Dengan perlahan wanita itu meletakkan suaminya diatas ranjang. Diangkatnya kepala sang suami dan meletakkan beberapa bantal agar suaminya dapat bersandar. Diusapnya perlahan tubuh suaminya yang semakin dingin. Namun, suaminya masih saja menjerit kesakitan dan mengeluarkan kata-kata yang aneh. Tubuhnya tampak kejang-kejang, matanya melotot ketakutan. Sang istri merasa takut kalau ajal menjemput suaminya. Dipegangnya erat tangan sang suami. Dibisikannya kata-kata ditelinga suami yang mungkin tidak mampu mendengarnya lagi saat itu. Tampak air mata mengalir deras dipipi wanita tersebut. Dia masih berharap suaminya dapat sembuh.
            Tiba-tiba sang suami muntah dan mengeluarkan beberapa bercak darah. Wanita itu cemas, dan langsung meminta anaknya untuk membawa ayah mereka dengan mobil. Namun sayangnya, anak-anaknya menolak permintaannya. Mereka berkata, “Untuk apa ibu masih mau mengurusnya? Biarkan saja dia mati dan tenggelam dalam perbuatannya sendiri. Apa ibu tidak ingat, dia telah menghina ibu? Dia telah mencampakan ibu dan memilih wanita lain? Ibu tidak ingat kalau dia bilang, ibu bukanlah istri yang baik? Ingat bu, dia pernah hampir membunuh saya waktu kecil. Dia malah berusaha untuk memperkosa adikmu saat ibu tak ada dirumah karena menjaga adik yang sedang sekarat dirumaj sakit. Dia tak pernah perduli tentang sekolah kami. Dia tak pernah bertanya apakah kami makan hari ini. Dia tidak pernah bertanya apakah ibu kekurangan uang untuk belanja. Dia tidak perduli dengan semua itu bu. Ibu lihat sekarang, tuhan telah menjawab doa ibu sekarang. Sekarang kita sudah hidup layak. Aku sudah sukses sekarang. Adik-adikku sudah tak perlu bersusah payah untuk sekolah. Kita sudah punya rumah dan kehidupan yang layak.”
            “Kamu sekarang sudah dewasa nak. Mengertilah dengan semua keadaan ini. Cobalah kamu berfikir dengan hatimu. Mungkin ibu tidak sadar bahkan ingat dengan beberapa hal, tapi kamu, kamu telah lupa semua hal.”
“Aku tidak lupa apapun, aku ingat semuanya bu. Aku rasa, ibu yang telah lupa.”
Kamu lupa nak, kamu lupa semua jerih payah ayahmu yang kini telah menjadi darah, tulang dan dagingmu. Kamu lupa, tanpa ada ayah, kamu tidak aka nada disini sekarang. Kamu lupa, bahwa saat ibu sakit dulu, dialah yang menjagamu. Dan satu hal yang kamu tidak ketahui. Selama ini, ayahmu selalu mengirimkan sebagian gajinya untuk makan kita. Maafkan ibu yang selama ini tidak pernah bilang padamu, ibu takut kamu tidak mau makan makanan dari gaji tersebut. Mungkin, tanpa uang itu, mungkin ibu tak akan sanggup menghidupi kalian semua sendirian. Ingat lah nak, sebetapapun  jahatnya orang itu padamu, jangan lah kamu melakukan hal yang sama pula. Ayahmu memang jahat, mungkin kamu tidak merasakan kepedihan yang ibu rasakan, tapi ingat, ada masa-masa dimana ayahmu adalah orang yang sangat baik. Ingat, jangan lupakan asalmu. Biarlah kejahatan itu berhenti sampai ayahmu saja. Ibu tak mau dendam pada ayah, membuatmu menjadi seperti dia pula.”
“Hmm, baiklah bu, aku mengerti sekarang. Aku janji untuk berusaha tidak menyimpan dendam pada ayah. Baiklah, kita antar ayah sekarang kerumah sakit.”
            Malam itu juga, wanita tua itu mengantar suaminya kerumah sakit bersama anaknya. Malam itu terasa dingin sekali. Lelaki tua itu tampak hanya diam dan kaku. Tubuhnya tak lagi kejang. Namun, tubuhnya terasa sudah sangat dingin. Melihat orang yang dicintainya kini telah dingin, wanita tua itu langsung memeluk erat sang suami. Dia berharap suaminya dapat sehat seperti dulu lagi.
            Saat telah sampai dirumah sakit, dengan segera para perawat membantu Pak Heri untuk turun. Saat tubuh lelaki tua itu terbujur diatas ranjang dorong, istrinya tetap memegang erat tangan suaminya yang semakin terasa dingin. Air matanya terus mengalir sembari memanggil nama suaminya. Untuk sesaat dia harus terpisah karena dokter harus memeriksa keadaan suaminya.
            10 menit telah berlalu, ruang pemeriksaan masih belum juga terbuka. Tak lama kemudian, seorang lelaki muda bernama Rahmat datang menemui Bu Neni.
“Maaf, bisa bicara dengan Ibu Neni sebentar? ”
Seketika itu juga anak pertama Bu Neni, yaitu Firman berkata, “Maaf mas, ibu sedang sedih, mungkin dia belum bisa diajak bicara sekarang. Mungkin ada yang ingin mas sampaikan?”
“Oh iya, saya ingin minta maaf sebelumnya. Sebenarnya, semua ini salah saya. Mungkin karena saya Pak Heri jadi seperti ini.”
“Memangnya kenapa bisa seperti itu mas?”
“Begini, saat malam kejadian sekitar jam 8 malam, ayahmu datang kerumah memintaku untuk diantar pulang kekontrakannya. Namun, saat ditengah jalan, ayahmu memintaku untuk berhenti disebuah warung kecil. Warung itu merupakan tempat orang-orang berkumpul untuk minum-minum. Awalnya aku mengajaknya untuk tidak kewarung itu karena waktu yang hampir larut. Tapi ayah mu tetap memaksa untuk kesana. Karena takut terjadi apa-apa, aku ikut dengan ayah mu  untuk mengawasinya. Disana dia bercerita tentang kekesalannya akibat kamu tidak mau meminjamkan motor kepada ayahmu.”
“Tapi saat itu aku bukan bermaksud tidak meminjamkannya, tapi saat itu aku harus menyerahkan berkas kepada atasanku dikantor.”
“Hmm,, Pak Heri tidak cerita masalah itu, dia hanya bilang kalau kamu tidak meminjamkannya motor. Saat itu, aku melihat Pak Heri banyak minum. Aku mencoba membujuknya untuk berhenti, dan itu berhasil. Namun saat itu, istriku menelponku dan menyuruhku untuk pulang karena anakku demam. Malam itu aku bingung, disatu sisi anakku sakit, disisi lain aku tidak mungkin meninggalkan ayahmu sendiri. Akhirnya aku memilih untuk pulang. Dan aku meninggalkan motorku disana agar bisa dipakai ayahmu bisa pulang. Aku sendiri meminta adikku untuk menjemputku di warung minuman tersebut. Aku meninggalkan ayahmu kurang lebih satu jam. Malam itu aku berusaha menelepon ayahmu, namun sayangnya teleponku tak pernah dijawabnya. Dengan segera aku kembali kewarung tersebut untuk melihat keadaan ayahmu disana. Namun, aku terkejut saat aku tidak lagi melihat ayahmu disana. Semua orang terlihat cemas seolah ada hal buruk yang baru saja terjadi. Pemilik warung itu memberikanku kunci dan handpone yang ditinggalkan ayahku diatas mejanya. Aku bertanya kepada pemilik warung tentang apa yang terjadi, dan pemilik warung berkata kalau ayahmu dibawa orang pulang kerumah karena tiba-tiba tak sadarkan diri. Saat itu aku ingin kerumahmu, namun sayang, istriku memintaku pulang untuk menjaga anakku yang sedang sakit. Aku datang kesini setelah tadi aku melihat mobilmu ada disini saat sedang membeli obat di apotik seberang. Aku mohon maafkan aku. Karena aku tak bermaksud untuk meninggalkan ayahmu sendiri.”
“Sudahlah mas, itu bukan salah mas. Lagian, anak mas kan sedang sakit, jadi mana mungkin untuk meninggalkannya.”
            Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan dengan wajah yang tampak lesu. Meski telah susah berdiri, Bu Nani berusaha mendekati dokter untuk bertanya tentang keadaan sang suami. Namun sayang sekali, segala usaha dokter tidak berbuah hasil. Suami Bu Neni dinyatakan telah tiada. Air mata wanita tua itu tumpah seketika mendengar suaminya telah tiada. Dia tidak percaya kalau suaminya kini telah tiada. Segera dia berlari menuju kamar suaminya dan memegang tangannya erat-erat. Dia meminta kepada perawat agar jangan menutup tubuh suaminya dulu.
“Aku butuh beberapa menit untuk melihat suamiku. Bisa biarkan saya sendiri dikamar ini suster?”
“Silakan bu.” Jawab perawat tersebut.
            Ditatapnya dalam mata suaminya yang kini telah tak terbuka lagi. Diusapnya kini tubuh lelaki tua yang kini telah dingin tersebut. “Tak ku sangka semua akan berakhir seperti ini. Meski sebenarnya aku tak ingin ini berakhir. Tapi semua ini terjadi sesuai apa yang kamu inginkan dulu. Apa mungkin kamu masih ingat, saat dulu kita baru membuat janji sehidup semati? Kamu pernah memintaku untuk menemanimu disaat-saat terakhir hidup mu. Dan saat itu pun aku berjanji untuk menemanimu dan selalu memegang tanganmu walau tanganmu sudah terasa dingin dan kaku. Dan kini aku disini untuk menepati permintaanmu, yaitu janji kita. Mungkin kamu lebih banyak membuat luka, namun kau harus tahu satu hal, aku tak pernah mengingat segala kebaikan hatimu. Taukah kamu kalau sampai saat ini, aku masih menyimpan semua puisi indah yang selalu kau tempelkan di depan pintu kamar sebelum kau pergi bekerja. Aku ingat kau selalu membuat nasi goreng kesukaanku saat aku sedang marah padamu. Seandainya bisa aku meminta kamu untuk hadir kembali, aku akan meminta. Aku masih berharap kita bisa melanjutkan kembali kehidupan kita. Namun sayangnya tuhan berkata lain. Tuhan ternyata lebih sayang padamu. Dia ingin kamu kembali bersamanya agar terbebas dari sakit dan penderitaan. Pergilah dengan tenang. Yakinlah bahwa cinta ini masih ada. Yakinlah bahwa anak-anakmu juga menyayangi dan bangga kepadamu. Hingga suatu saat kau akan dengar, anak cucu mu akan bercerita tentang segala kebaikanmu.”
            Waktu sudah menunjukan jam 2 malam, Bu Neni masih tampak menemani suaminya yang telah tutup usia tersebut. “Bu, sudah jam 2 lewat. Biarkan perawat mengurus ayah. Ibu sebaiknya istirahat sejenak.” pinta anaknya.
“Ibu ingin malam ini tidur bersama ayahmu. Sudah 12 tahun ibu tidak pernah tidur bersamanya. Izinkan Ibu untuk terus menatapi wajah ayahmu. Karena ibu tak pernah tau kapan Ibu dapat bersamanya lagi.”
“Baiklah bu jika ibu meminta.”
            Malam itu terasa begitu sunyi dan sayu. Anak anaknya nampak sibuk mengabari keluarga mengenai berita duka tersebut. Terlihat wanita tua itu telah tertidur disamping suaminya. Melihat ibunya yang sedang tertidur, sang anak sulung mendekati ibunya. Dilihatnya tubuh sang ayah yang kini telah tiada. Namun, sang anak melihat sesuatu dikantong jaket yang dipakai ayahnya tadi. Dia melihat sebuah kertas lusuh yang tintanya hampir luntur. Dibukanya kertas tersebut yang ternyata merupakan sebuah surat untuk istrinya.
            “Sayang, aku tau mungkin semua ini terlambat. Tak ada lagi ruang bagiku untuk bersamamu. Dan satu hal uang pasti, anak-anak tak mungkin mau menerimaku sebagai ayah mereka lagi. Aku tau semua itu dulu salahku. Tak seharusnya aku terbuai ajakan temanku dulu. Aku tak pernah bermaksud meninggalkanmu dan anak-anak kita, namun wanita itu sedang dalam keadaan hamil, dan aku harus bertanggung jawab atas salahku sendiri. Aku sering berfikir untuk meninggalkannya, namun aku takut aku tak diterima. Luka yang ku sayatkan sangatlah dalam dan perih, namun aku tak berani untuk pulang. Tapi kini aku sudah belajar untuk berubah, aku tak pernah lagi merokok, dan berjudi. Aku sekarang sudah bisa mengurus kehidupanku sendiri. Aku melakukan semua itu agar aku bisa kembali padamu. Aku sekarang sudah menemukan resep baru untuk nasi goring kesukaanmu. Karena aku tau sebentar lagi ulang tahun pernikahan kita yang ke-25, dan aku yakin kamu dan anak-anak pasti suka. Kamu tau tidak, setiap tanggal ulang tahunmu aku kebukit kecil dibelakang rumahmu dulu untuk makan nasi goreng sembari mengingat masa indah kita bersama dulu. Aku juga sudah menabung untuk mengajakmu dan anak-anak berlibur ke bali, karena dulu aku pernah bercita-cita untuk mengajakmu dan anak kita kesana. Ada satu hal yang selalu ingin ku titipkan padamu, namun aku tak pernah berani memberikannya. Aku membuat lukisan wajah anak-anak kita. Aku membuat itu agar setiap malam aku dapat mengenang mereka. Aku juga turut bahagia melihat anak-anak kita kini telah sukses. Dan aku berharap mereka tidak menjadi orang tua sepertiku. Semoga saja, surat ini mampu membuka hatimu dan anak untuk menerimaku kembali dalam keluarga.” Setelah membaca surat tersebut, sang anak sulung menangis. Dia menyesal karena lebih mementingkan pekerjaannya disbanding ayahnya sendiri. Rasa dendam dihatinya telah membutakannya sehingga berpaling dari ayahnya sendiri. Namun, semua telah terjadi. Tak akan lagi tubuh tua ayahnya dapat kembali lagi seperti dulu. Sekarang hanya doa-doa yang mampu ia berikan kepada ayahnya sebagai wujud cinta kasihnya kepada ayah.
            Hari  ini adalah hari pemakaman, setelah semalam menjadi malam yang berat. Suasana nampak begitu berkabung saat itu. Langit tampak mendung seolah ikut bersedih saat itu. Perlahan-lahan, keranda datang membawa tubuh Pak Heri secara perlahan. Semua keluarga menyambutnya dengan perasaan sedih. Tak lagi nampak diwajah mereka dendam dan amarah. Mereka telah belajar bagaimana cara menerima hidup. Mereka yakin bahwa tak ada manusia yang luput dari kesalahan. Dan kita juga harus mampu menerima segala keburukan orang kepada kita.
            Tanah kini perlahan menutupi tubuh lelaki tua yang mati dipelukan sang istri semalam. Namun segala kenangannya tak akan pernah bisa dilupakan. Secarit kertas di letakkan anaknya diatas makam sang ayah. Sebagai tanda cinta kasih untuk yang terakhir.
            “Ayah, kini kami telah mengerti. Terkadang hidup mampu membuat kita berpaling dari kebenaran. Membawa kita tenggelam dalam kelam dan perlahan-lahan mati didalamnya. Kami tau mungkin ini bukan kehendak ayah, namun ini adalah garisan cerita yang telah dituliskan oleh tuhan. Kini kami tau, kau adalah sosok yang kuat untuk berdiri, namun keadaan terkadang memaksamu untuk tunduk dan lemah padanya. Kami yakin ayah mencintai kami. Dan kami yakin kalau ada doa yang selalu kau selipkan untuk kami anak-anakmu. Kini kami sudah besar. Kami berjanji akan menjaga ibu, perempuan yang sangat engkau cintai. Kini kau telah tenang disana. Jangan lagi kau memikirkan keadaan kami, karena kami telah mampu hidup. Jangan pernah kau takut kehilangan cinta, karena ada satu tempat istimewa bagimu dihati kami. Ayah tetap menjadi yang terbaik bagi kami, selamanya.”
            Perlahan-lahan tempat itu mulai sepi. Mungkin semuanya akan pergi, namun cinta dan kasih akan tetap slalu ada disini, dihati kita semua.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar