Kisah
ini diangkat berdasarkan kisah nyata. Kisah tentang sebuah cinta yang tanpa
syarat dari seorang istri yang begitu setia kepada suaminya.
Malam itu tepat jam 11 malam. Suasananya nampak begitu sunyi. Tidak ada lagi nyala lampu disetiap bagian dalam rumah penduduk. Jalannya pun sunyi. Tak ada lagi suara-suara bunyi kendaraan yang lewat. Namun ditengah kedunyian itu, ada satu rumah yang masih menyalakan lampu dalam dirumahnya. Terdengar dibalik tirai-tirai tipis, suara sendu dari seorang wanita. Wanita itu terdengar sedang bernyanyi. Namun nyanyiannya tidak seperti lagu pada umumnya. Lagu itu terdengar seperti syair indah dari sebuah lantunan doa.
Dibalik tirai itu, ada seorang
wanita tua yang sedang duduk diatas sejadahnya. Tangannya sedang memapah
Al-Qur’an kecil yang ia baca sejak tadi. Al-Qur’an itu nampak basah. Wajahnya Nampak sayu, tubuhnya kurus
dan ringkih. Wanita itu ternyata sedang menagis. Tak terbendung lagi air
matanya yang telah lama ditahannya. Tersirat rasa pedih dan sakit yang amat dalam
dari suaranya saat mengaji. Wanita itu bernama Ibu Neni.
Ibu Neni adalah seorang wanita yang
telah lama ditinggal sendiri bersama suaminya. Wanita tua itu hidup bersama 4
orang anak disebuah rumah kecil yang sederhana. Wanita itu sehari-hari
berjualan nasi dipasar untuk menghidupi anaknya yang saat itu masih kecil dulu.
Tapi kini, ibu Neni telah hidup enak. Anaknya yang pertama telah bekerja
sebagai anggota polisi. Anaknya yang kedua telah bekerja sebagai pemilik jasa mobil
angkot dipasar. Anaknya yang ketiga, kini telah lulus kuliah. Dan anaknya yang
bungsu, masih sekolah di SMA.
Suasana
sunyi malam itu,tiba-tiba terpecah. Sekumpulan orang-orang datang dan mengetuk
pintu rumahnya berkali-kali dengan keras. Wanita itu sejenak berdiri dari
sejadahnya untuk membukakan pintu.
Dilihatnya, sekumpulan orang itu
datang dengan wajah panik. Melihat wajah orang-orang tersebut, wanita itu
dengan segera membukakan pintu pagar rumahnya. Dan, alangkah terkejutya wanita
itu saat melihat sekumpulan orang tersebut datang membawa seseorang dalam
keadaan pingsan. Orang itu tak lain dan tak bukan adalah suaminya sendiri.
Melihat suaminya tergeletak tak
berdaya yang dalam keadaan dibopong banyak orang, wanita tersebut hanya bisa
terdiam. Dibukakannya pintu kamarnya untuk merebahkan tubuh suaminya yang
sangat dingin. Dibangunkannya anak-anaknya untuk membantu orang memapah tubuh
ayah mereka. Namun sayang, anak anaknya nampak enggan untuk membantu ayah
mereka. Ada apa dengan semua ini? Semua orang pun tampak ingin segera cepat
pulang karena takut melihat suami wanita itu yang sedang dalam keadaan
kejang-kejang.
Tubuh tambun dan tegap lelaki tua
yang biasa dipanggil ‘Pak Heri’ itu tampak kejang dan kaku. Mulutnya tak henti
mengeluarkan kata-kata aneh. Semua orang yang membopongnya terlihat ketakutan,
dan tiba-tiba lelaki tua itu terjatuh tersungkur ketanah. Sontak saja semua
orang ketakutan dan memilih untuk pergi. Melihat suaminnya yang tergeletak
ditanah, segera sang istri datang dan memapah sendiri suaminya yang lemah
tersebut. Meski anak-anaknya tidak memperdulikan lagi ayah mereka, namun sang
ibu sekaligus istri yang sangat menyayangi suaminya tersebut tak menghiraukan
prilaku anaknya. Dia tetap memapah tubuh suamunya yang badannya dua kali dari
badannya.
Dengan perlahan wanita itu
meletakkan suaminya diatas ranjang. Diangkatnya kepala sang suami dan
meletakkan beberapa bantal agar suaminya dapat bersandar. Diusapnya perlahan
tubuh suaminya yang semakin dingin. Namun, suaminya masih saja menjerit
kesakitan dan mengeluarkan kata-kata yang aneh. Tubuhnya tampak kejang-kejang,
matanya melotot ketakutan. Sang istri merasa takut kalau ajal menjemput
suaminya. Dipegangnya erat tangan sang suami. Dibisikannya kata-kata ditelinga
suami yang mungkin tidak mampu mendengarnya lagi saat itu. Tampak air mata
mengalir deras dipipi wanita tersebut. Dia masih berharap suaminya dapat
sembuh.
Tiba-tiba sang suami muntah dan
mengeluarkan beberapa bercak darah. Wanita itu cemas, dan langsung meminta anaknya
untuk membawa ayah mereka dengan mobil. Namun sayangnya, anak-anaknya menolak
permintaannya. Mereka berkata, “Untuk apa ibu masih mau mengurusnya? Biarkan
saja dia mati dan tenggelam dalam perbuatannya sendiri. Apa ibu tidak ingat,
dia telah menghina ibu? Dia telah mencampakan ibu dan memilih wanita lain? Ibu
tidak ingat kalau dia bilang, ibu bukanlah istri yang baik? Ingat bu, dia
pernah hampir membunuh saya waktu kecil. Dia malah berusaha untuk memperkosa
adikmu saat ibu tak ada dirumah karena menjaga adik yang sedang sekarat dirumaj
sakit. Dia tak pernah perduli tentang sekolah kami. Dia tak pernah bertanya
apakah kami makan hari ini. Dia tidak pernah bertanya apakah ibu kekurangan
uang untuk belanja. Dia tidak perduli dengan semua itu bu. Ibu lihat sekarang,
tuhan telah menjawab doa ibu sekarang. Sekarang kita sudah hidup layak. Aku
sudah sukses sekarang. Adik-adikku sudah tak perlu bersusah payah untuk
sekolah. Kita sudah punya rumah dan kehidupan yang layak.”
“Kamu sekarang sudah dewasa nak.
Mengertilah dengan semua keadaan ini. Cobalah kamu berfikir dengan hatimu.
Mungkin ibu tidak sadar bahkan ingat dengan beberapa hal, tapi kamu, kamu telah
lupa semua hal.”
“Aku
tidak lupa apapun, aku ingat semuanya bu. Aku rasa, ibu yang telah lupa.”
Kamu
lupa nak, kamu lupa semua jerih payah ayahmu yang kini telah menjadi darah,
tulang dan dagingmu. Kamu lupa, tanpa ada ayah, kamu tidak aka nada disini
sekarang. Kamu lupa, bahwa saat ibu sakit dulu, dialah yang menjagamu. Dan satu
hal yang kamu tidak ketahui. Selama ini, ayahmu selalu mengirimkan sebagian
gajinya untuk makan kita. Maafkan ibu yang selama ini tidak pernah bilang
padamu, ibu takut kamu tidak mau makan makanan dari gaji tersebut. Mungkin,
tanpa uang itu, mungkin ibu tak akan sanggup menghidupi kalian semua sendirian.
Ingat lah nak, sebetapapun jahatnya
orang itu padamu, jangan lah kamu melakukan hal yang sama pula. Ayahmu memang
jahat, mungkin kamu tidak merasakan kepedihan yang ibu rasakan, tapi ingat, ada
masa-masa dimana ayahmu adalah orang yang sangat baik. Ingat, jangan lupakan
asalmu. Biarlah kejahatan itu berhenti sampai ayahmu saja. Ibu tak mau dendam
pada ayah, membuatmu menjadi seperti dia pula.”
“Hmm,
baiklah bu, aku mengerti sekarang. Aku janji untuk berusaha tidak menyimpan
dendam pada ayah. Baiklah, kita antar ayah sekarang kerumah sakit.”
Malam itu juga, wanita tua itu
mengantar suaminya kerumah sakit bersama anaknya. Malam itu terasa dingin
sekali. Lelaki tua itu tampak hanya diam dan kaku. Tubuhnya tak lagi kejang.
Namun, tubuhnya terasa sudah sangat dingin. Melihat orang yang dicintainya kini
telah dingin, wanita tua itu langsung memeluk erat sang suami. Dia berharap
suaminya dapat sehat seperti dulu lagi.
Saat telah sampai dirumah sakit,
dengan segera para perawat membantu Pak Heri untuk turun. Saat tubuh lelaki tua
itu terbujur diatas ranjang dorong, istrinya tetap memegang erat tangan
suaminya yang semakin terasa dingin. Air matanya terus mengalir sembari
memanggil nama suaminya. Untuk sesaat dia harus terpisah karena dokter harus
memeriksa keadaan suaminya.
10 menit telah berlalu, ruang
pemeriksaan masih belum juga terbuka. Tak lama kemudian, seorang lelaki muda
bernama Rahmat datang menemui Bu Neni.
“Maaf,
bisa bicara dengan Ibu Neni sebentar? ”
Seketika
itu juga anak pertama Bu Neni, yaitu Firman berkata, “Maaf mas, ibu sedang
sedih, mungkin dia belum bisa diajak bicara sekarang. Mungkin ada yang ingin
mas sampaikan?”
“Oh
iya, saya ingin minta maaf sebelumnya. Sebenarnya, semua ini salah saya.
Mungkin karena saya Pak Heri jadi seperti ini.”
“Memangnya
kenapa bisa seperti itu mas?”
“Begini,
saat malam kejadian sekitar jam 8 malam, ayahmu datang kerumah memintaku untuk
diantar pulang kekontrakannya. Namun, saat ditengah jalan, ayahmu memintaku
untuk berhenti disebuah warung kecil. Warung itu merupakan tempat orang-orang
berkumpul untuk minum-minum. Awalnya aku mengajaknya untuk tidak kewarung itu
karena waktu yang hampir larut. Tapi ayah mu tetap memaksa untuk kesana. Karena
takut terjadi apa-apa, aku ikut dengan ayah mu
untuk mengawasinya. Disana dia bercerita tentang kekesalannya akibat kamu
tidak mau meminjamkan motor kepada ayahmu.”
“Tapi
saat itu aku bukan bermaksud tidak meminjamkannya, tapi saat itu aku harus
menyerahkan berkas kepada atasanku dikantor.”
“Hmm,,
Pak Heri tidak cerita masalah itu, dia hanya bilang kalau kamu tidak
meminjamkannya motor. Saat itu, aku melihat Pak Heri banyak minum. Aku mencoba
membujuknya untuk berhenti, dan itu berhasil. Namun saat itu, istriku
menelponku dan menyuruhku untuk pulang karena anakku demam. Malam itu aku
bingung, disatu sisi anakku sakit, disisi lain aku tidak mungkin meninggalkan
ayahmu sendiri. Akhirnya aku memilih untuk pulang. Dan aku meninggalkan motorku
disana agar bisa dipakai ayahmu bisa pulang. Aku sendiri meminta adikku untuk
menjemputku di warung minuman tersebut. Aku meninggalkan ayahmu kurang lebih
satu jam. Malam itu aku berusaha menelepon ayahmu, namun sayangnya teleponku
tak pernah dijawabnya. Dengan segera aku kembali kewarung tersebut untuk
melihat keadaan ayahmu disana. Namun, aku terkejut saat aku tidak lagi melihat
ayahmu disana. Semua orang terlihat cemas seolah ada hal buruk yang baru saja
terjadi. Pemilik warung itu memberikanku kunci dan handpone yang ditinggalkan
ayahku diatas mejanya. Aku bertanya kepada pemilik warung tentang apa yang
terjadi, dan pemilik warung berkata kalau ayahmu dibawa orang pulang kerumah
karena tiba-tiba tak sadarkan diri. Saat itu aku ingin kerumahmu, namun sayang,
istriku memintaku pulang untuk menjaga anakku yang sedang sakit. Aku datang
kesini setelah tadi aku melihat mobilmu ada disini saat sedang membeli obat di
apotik seberang. Aku mohon maafkan aku. Karena aku tak bermaksud untuk
meninggalkan ayahmu sendiri.”
“Sudahlah
mas, itu bukan salah mas. Lagian, anak mas kan sedang sakit, jadi mana mungkin
untuk meninggalkannya.”
Tak lama kemudian, dokter keluar
dari ruangan dengan wajah yang tampak lesu. Meski telah susah berdiri, Bu Nani
berusaha mendekati dokter untuk bertanya tentang keadaan sang suami. Namun
sayang sekali, segala usaha dokter tidak berbuah hasil. Suami Bu Neni
dinyatakan telah tiada. Air mata wanita tua itu tumpah seketika mendengar
suaminya telah tiada. Dia tidak percaya kalau suaminya kini telah tiada. Segera
dia berlari menuju kamar suaminya dan memegang tangannya erat-erat. Dia meminta
kepada perawat agar jangan menutup tubuh suaminya dulu.
“Aku
butuh beberapa menit untuk melihat suamiku. Bisa biarkan saya sendiri dikamar
ini suster?”
“Silakan
bu.” Jawab perawat tersebut.
Ditatapnya dalam mata suaminya yang
kini telah tak terbuka lagi. Diusapnya kini tubuh lelaki tua yang kini telah
dingin tersebut. “Tak ku sangka semua akan berakhir seperti ini. Meski
sebenarnya aku tak ingin ini berakhir. Tapi semua ini terjadi sesuai apa yang
kamu inginkan dulu. Apa mungkin kamu masih ingat, saat dulu kita baru membuat
janji sehidup semati? Kamu pernah memintaku untuk menemanimu disaat-saat
terakhir hidup mu. Dan saat itu pun aku berjanji untuk menemanimu dan selalu
memegang tanganmu walau tanganmu sudah terasa dingin dan kaku. Dan kini aku
disini untuk menepati permintaanmu, yaitu janji kita. Mungkin kamu lebih banyak
membuat luka, namun kau harus tahu satu hal, aku tak pernah mengingat segala
kebaikan hatimu. Taukah kamu kalau sampai saat ini, aku masih menyimpan semua
puisi indah yang selalu kau tempelkan di depan pintu kamar sebelum kau pergi
bekerja. Aku ingat kau selalu membuat nasi goreng kesukaanku saat aku sedang
marah padamu. Seandainya bisa aku meminta kamu untuk hadir kembali, aku akan
meminta. Aku masih berharap kita bisa melanjutkan kembali kehidupan kita. Namun
sayangnya tuhan berkata lain. Tuhan ternyata lebih sayang padamu. Dia ingin
kamu kembali bersamanya agar terbebas dari sakit dan penderitaan. Pergilah
dengan tenang. Yakinlah bahwa cinta ini masih ada. Yakinlah bahwa anak-anakmu
juga menyayangi dan bangga kepadamu. Hingga suatu saat kau akan dengar, anak
cucu mu akan bercerita tentang segala kebaikanmu.”
Waktu sudah menunjukan jam 2 malam,
Bu Neni masih tampak menemani suaminya yang telah tutup usia tersebut. “Bu,
sudah jam 2 lewat. Biarkan perawat mengurus ayah. Ibu sebaiknya istirahat
sejenak.” pinta anaknya.
“Ibu
ingin malam ini tidur bersama ayahmu. Sudah 12 tahun ibu tidak pernah tidur
bersamanya. Izinkan Ibu untuk terus menatapi wajah ayahmu. Karena ibu tak
pernah tau kapan Ibu dapat bersamanya lagi.”
“Baiklah
bu jika ibu meminta.”
Malam itu terasa begitu sunyi dan
sayu. Anak anaknya nampak sibuk mengabari keluarga mengenai berita duka
tersebut. Terlihat wanita tua itu telah tertidur disamping suaminya. Melihat
ibunya yang sedang tertidur, sang anak sulung mendekati ibunya. Dilihatnya
tubuh sang ayah yang kini telah tiada. Namun, sang anak melihat sesuatu
dikantong jaket yang dipakai ayahnya tadi. Dia melihat sebuah kertas lusuh yang
tintanya hampir luntur. Dibukanya kertas tersebut yang ternyata merupakan
sebuah surat untuk istrinya.
“Sayang, aku tau mungkin semua ini
terlambat. Tak ada lagi ruang bagiku untuk bersamamu. Dan satu hal uang pasti,
anak-anak tak mungkin mau menerimaku sebagai ayah mereka lagi. Aku tau semua
itu dulu salahku. Tak seharusnya aku terbuai ajakan temanku dulu. Aku tak
pernah bermaksud meninggalkanmu dan anak-anak kita, namun wanita itu sedang
dalam keadaan hamil, dan aku harus bertanggung jawab atas salahku sendiri. Aku
sering berfikir untuk meninggalkannya, namun aku takut aku tak diterima. Luka
yang ku sayatkan sangatlah dalam dan perih, namun aku tak berani untuk pulang.
Tapi kini aku sudah belajar untuk berubah, aku tak pernah lagi merokok, dan
berjudi. Aku sekarang sudah bisa mengurus kehidupanku sendiri. Aku melakukan
semua itu agar aku bisa kembali padamu. Aku sekarang sudah menemukan resep baru
untuk nasi goring kesukaanmu. Karena aku tau sebentar lagi ulang tahun
pernikahan kita yang ke-25, dan aku yakin kamu dan anak-anak pasti suka. Kamu
tau tidak, setiap tanggal ulang tahunmu aku kebukit kecil dibelakang rumahmu
dulu untuk makan nasi goreng sembari mengingat masa indah kita bersama dulu.
Aku juga sudah menabung untuk mengajakmu dan anak-anak berlibur ke bali, karena
dulu aku pernah bercita-cita untuk mengajakmu dan anak kita kesana. Ada satu
hal yang selalu ingin ku titipkan padamu, namun aku tak pernah berani
memberikannya. Aku membuat lukisan wajah anak-anak kita. Aku membuat itu agar
setiap malam aku dapat mengenang mereka. Aku juga turut bahagia melihat
anak-anak kita kini telah sukses. Dan aku berharap mereka tidak menjadi orang
tua sepertiku. Semoga saja, surat ini mampu membuka hatimu dan anak untuk
menerimaku kembali dalam keluarga.” Setelah membaca surat tersebut, sang anak
sulung menangis. Dia menyesal karena lebih mementingkan pekerjaannya disbanding
ayahnya sendiri. Rasa dendam dihatinya telah membutakannya sehingga berpaling
dari ayahnya sendiri. Namun, semua telah terjadi. Tak akan lagi tubuh tua
ayahnya dapat kembali lagi seperti dulu. Sekarang hanya doa-doa yang mampu ia
berikan kepada ayahnya sebagai wujud cinta kasihnya kepada ayah.
Hari
ini adalah hari pemakaman, setelah semalam menjadi malam yang berat.
Suasana nampak begitu berkabung saat itu. Langit tampak mendung seolah ikut
bersedih saat itu. Perlahan-lahan, keranda datang membawa tubuh Pak Heri secara
perlahan. Semua keluarga menyambutnya dengan perasaan sedih. Tak lagi nampak
diwajah mereka dendam dan amarah. Mereka telah belajar bagaimana cara menerima
hidup. Mereka yakin bahwa tak ada manusia yang luput dari kesalahan. Dan kita
juga harus mampu menerima segala keburukan orang kepada kita.
Tanah kini perlahan menutupi tubuh
lelaki tua yang mati dipelukan sang istri semalam. Namun segala kenangannya tak
akan pernah bisa dilupakan. Secarit kertas di letakkan anaknya diatas makam
sang ayah. Sebagai tanda cinta kasih untuk yang terakhir.
“Ayah, kini kami telah mengerti.
Terkadang hidup mampu membuat kita berpaling dari kebenaran. Membawa kita
tenggelam dalam kelam dan perlahan-lahan mati didalamnya. Kami tau mungkin ini
bukan kehendak ayah, namun ini adalah garisan cerita yang telah dituliskan oleh
tuhan. Kini kami tau, kau adalah sosok yang kuat untuk berdiri, namun keadaan
terkadang memaksamu untuk tunduk dan lemah padanya. Kami yakin ayah mencintai
kami. Dan kami yakin kalau ada doa yang selalu kau selipkan untuk kami
anak-anakmu. Kini kami sudah besar. Kami berjanji akan menjaga ibu, perempuan
yang sangat engkau cintai. Kini kau telah tenang disana. Jangan lagi kau
memikirkan keadaan kami, karena kami telah mampu hidup. Jangan pernah kau takut
kehilangan cinta, karena ada satu tempat istimewa bagimu dihati kami. Ayah
tetap menjadi yang terbaik bagi kami, selamanya.”
Perlahan-lahan tempat itu mulai sepi.
Mungkin semuanya akan pergi, namun cinta dan kasih akan tetap slalu ada disini,
dihati kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar